Ambon, MalukuLawamena – Konflik Horisontal yang terjadi antar kelompok massa di kawasan tugu Trikora sampai Pohon Pule dan sekitarnya pada Minggu (12/1/2025) dinihari di duga ada setingan dari pra kondisi jelang pelaksanaan pelantikan Gubernur Maluku.
Hal ini di ungkapkan Pakar Komunikasi Massa Chrestian Sahetapy kepada awak media melalui sambungan telepon seluler Minggu (12/1/2025) sekitar pukul 20.00 WIT (sekitar jam 8 malam) setelah dirinya (Sahetapy) melakukan telaah terhadap konflik yang timbul dan meresahkan masyarakat di kota Ambon.
Jika di lihat dari ilmu komunikasi maka kejadian ini merupakan pra kondisi yang memang sengaja diciptakan karena ada nilai kepentingan tertentu, di mana konflik bisa saja terjadi berdasarkan berbagai rentetan kejadian yang sudah terjadi sebelum konflik ini.
Kita lihat saja pada pra kondisi dimana terjadi laka lantas di pertigaan Hotel Santika pada 31 Desember 2024 bahkan hingga yang terjadi di hari Minggu dinihari seputaran kawasan tugu Trikora hingga pohon Pule, sebut Sahetapy.
Saya menduga kalau kondisi ini hanya semata-mata di buat menjelang pelantikan Gubernur Maluku. Ini ada kepentingan-kepentingan tertentu berdasarkan ilmu komunikasi yang di gunakan.
Kalau tidak ada setingan maka belum tentu ada konflik yang terjadi di tengah masyarakat khususnya di kota Ambon terutama kawasan Trikora dan Pohon Pule maupun di Maluku umumnya, ujar Sahetapy
Dijelaskannya kalau dari setingan konflik itu maka akan menimbulkan korban berupa ada beberapa warga yang luka-luka, ada kendaraan roda dua yang dibakar, ada satu rumah warga yang hangus terbakar maupun ada beberapa bangunan yang kacanya pecah akibat terkenal lemparan batu.
Kendati demikian, sebagai pakar komunikasi di Maluku maupun sebagai tokoh masyarakat, Chrestian Sahetapy mengajak elemen masyarakat Pela Gandong baik Kristen maupun Islam yang ada di Maluku terutama di kota Ambon agar jangan mudah terpancing dengan situasi dan kondisi yang sengaja di ciptakan pihak tertentu untuk menghalangi proses pelantikan Gubernur Maluku nantinya.
Dia menjelaskan kalau orang Maluku ini sangat mudah di picu dari sisi agama, tetapi kalau dari sisi adat maupun kultur budaya sangat sulit dan tidak muda. Olehnya itu pakar komunikasi massa asli Maluku ini sangat berharap agar masyarakat baik Islam dan Kristen yang ada di kota Ambon maupun Maluku secara umum agar jangan terpancing dengan berbagai macam isu sara akibat kepentingan.
Coba kita lihat dan cermati bersama bahwa pengalaman konflik sosial tahun 1999-2004 yang terjadi hampir di semua daerah di Provinsi Maluku inikan di picu dari sisi agama yang di politisasi sehingga timbulah konflik yang sangat besar. Jadi Beta berharap samua masyarakat dan samua basudara di Maluku harus melihat pengalaman masalalu itu jangan terulang karena hanya akan menimbulkan kesengsaraan berkepanjangan di tengah masyarakat, ajak Sahetapy.
Kita harus belajar dari pengalaman itu karena pengalaman merupakan guru terbesar bagi Katong masyarakat Maluku, pengalaman itu akan mendidik kita semua agar mengerti tentang sebuah sejarah yang pernah terjadi. Katong orang Maluku jangan mau di jadikan alat kepentingan elit-elit tertentu untuk bisa meruncing kembali keadaan dan kondisi Maluku yang sudah aman dan damai sampai saat ini.
Beta sebagai anak adat, sebagai anak muda Maluku dan juga sebagai tokoh masyarakat yang memiliki ilmu komunikasi selalu monitor situasi dan kondisi yang terjadi sejak Minggu dinihari sekitar pukul 03.00 WIT itu.
Dengan demikian kesimpulan bahwa konflik itu terjadi karena ada setingan dari kedua belah pihak (kedua kelompok) di mana ada kelompok tertentu yang di seting khusus guna persiapan, karena kalau hanya satu kelompok saja maka tidak mungkin konflik itu akan terjadi, ujarnya.
Kalau di lihat dari kacamata sebagai seorang pakar komunikasi maka dapat di pastikan bahwa potensi konflik di Ambon itu ada dan sangat besar karena ada damerkasi antara dua komunitas sehingga timbulah segregasi di tengah masyarakat dengan garis demarkasi dalam kedua kelompok tersebut.
Dari garis demarkasi tersebut timbulah pertikaian, itu berdasarkan pantauan maupun penglihatan dari para ahli strategi dimana garis demarkasi itu sama dengan jalur Gaza maka sudah di pastikan kalau konflik itu terjadi akibat di seting, ucap Sahetapy.
Jadi dari prospek kejadian itu saya pastikan kalau ada otak intelektual ahli strategi konflik yang memainkan perannya terhadap kelompok tertentu dengan menghitung kelemahan maupun kekuatan dari dua kelompok massasehingga munculnya para pemicu.
Menurutnya, settingan tersebut bukan hanya dari dalam, tapi juga dari luar yang meniup isu-isu yang sebetulnya membangkitkan emosional orang dengan menggunakan media sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan tujuan yang ingin hendak dicapai.
Berdasarkan data dan fakta yang di miliki sebagai seorang pakar komunikasi di Maluku, maka Chrestian Sahetapy berharap agar media baik itu media cetak maupun elektronik yang ada di daerah ini untuk tetap selektif dan tidak menjadi media komunikator terhadap pihak atau kelompok tertentu melainkan menjadi media komunikasi yang membangun dan selalu mengajak masyarakat untuk terus menjaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai hidup orang Basudara di Maluku yang sudah memiliki adat dan budaya Pela dan Gandong sejak datuk-datuk kita, pinta Sahetapy. (ML-AS)